Senin, 12 Juli 2021

Hak dan Kewajiban dari konsumen dan pelaku usaha, serta perbuatan apa saja yang dilarang oleh pelaku usaha terhadap konsumennya dalam kegiatan ekonomi sehari-hari (TM 11)

A.     Pengertian Konsumen.

     konsumen sebagai istilah yang sering dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, merupakan istilah yang perlu untuk diberikan batasan pengertian agar dapat mempermudah pembahasan tentang perlindungan konsumen. Berbagai pengertian tentang “konsumen” yang dikemukakan baik dalam Rancangan Undang-undang perlindungan konsumen, sebagai upaya ke arah terbentuknya Undang-undang perlindungan konsumen maupun di dalam undang-undang perlindungan konsumen. Pengertian Konsumen menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam pasal 1 angka (2) yakni: Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendir, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dari pengertian konsumen diatas, maka dapat kita kemuakakan unsurunsur definisi konsumen :

       

a.                   a.   Setiap orang.

         Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Mamun istilah orang menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lzim disebut natuurlijke person atau termasuk bahan hukum (rechtspersoon). Oleh karena itu konsumen harus mencakup juga bahan usaha dengan makna luas dari pada bahan hukum.

        b. Pemakai.

            Sesuai dengan bunyi pasal 1 angka (2) Undang-undang perlindungan konsumen, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah kata “pemakai” dalam hal ini digunakan untuk rumusan ketentuan tersebut atau menunjukkan suatu barang dan/ atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli.

        c. Barang dan/atau Jasa.

        Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti termologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa. Undang-undang perlindungan konsumen mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.

        d. Yang tersedia dalam Masyarakat.

            Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus bersedia di pasaran (lihat juga ketentuan pasal 9 ayat (1) huruf e UUPK). Dalam perdagangan yang makin kompleks ini, syarat itu tidak multak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen.

        e. Bagi kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang lain, Makhluk Hidup lain.

          Transaksi konsumen ditunjukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan bagi untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan kelaurganya), bahkan unruk makhluk hidup, contohnya seperti hewan dan tumbuhan.

        f. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan.

        Pengertian konsumen dalam UUPK dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah bisa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai Negara. 

Pengertian konsumen menurut para ahli, menurut Az. Nasution menyatakan bahwa konsumen dapat dikelompokan menjadi dua yaitu:

  1. Pemakai atau pengguna barang dan/atau pelayanan jasa dengan tujuan mendapatkan barang dan/atau pelayanan jasa untuk dijual kembali.
  2. Pemakai barang dan/atau pelayanan jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya.

Sedangkan menurut pendapat A. Abdurahman menyakatan "Bahwa konsumen pada umumnya adalah seseorang yang menggunakan atau memakai, mengkonsumsi barang dan/atau pelayanan jasa".


1.      1Azas dan tujuan konsumen.

  • Azas Konsumen

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di dalam pasal 2 bahwa: “perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

 

  a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besar bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan; 

 b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan pada konsumen dan perilaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;

 c. Asas kesimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual; 

d. Asas kemanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa dikonsumsi atau digunakan; 

e. Asas kepentingan hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu:

  1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen.
  2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan.
  3. Asas kepastian hukum.

Asas keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam asas keadilan, mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak antara pelaku usaha dengan konsumen dan pemerintah. Kepentingan pemerintah di dalam hubungan ini tidak dapat dilihat dalam hubungan adanya transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen. melainkan dengan cara mewakili kepentingan publik yang kehadirannya tidak secara langsung di antara pelaku usaha dengan konsumen tetapi melalui berbagai pembatasan dalam suatu bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagi peraturan perundang-undangan. Selain itu asas keamanan dan keselamatan para konsumen yang dikelompokkan di dalam asas manfaat oleh karena kemanan dan keselamatan konsumen itu sendiri merupakan bagian dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan konsumen dengan kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan. 

  • Tujuan Konsumen.

Adapun tujuan perlindungan konsumen menurut pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen adalah:

        a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; 

    b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; 

    c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-hak sebagi konsumen; 

      d. Menumbuhkan unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; 

    e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab dalm berusaha;

     f. Meningkatkan kualitas dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usdaha produksi barang/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, kemanan, dan keselamatn konsumen.

 

2.      Hak - hak Konsumen.

 

Dalam pelaku usaha memiliki hak untuk melakukan suatu usahanya, yang diatur di dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, produsen disebut sebagai Hak pelaku usaha yang tercantum pasal 6 Undang-undang tentang perlindungan konsumen adalah:

 

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan menegai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa diperdagangkan; 

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tidakan konsumen yang beriktikad tidak baik; 

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;    

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.

 

Berdasarkan hak pelaku usaha yang sudah disebutkan diatas bila kita lihat lebih banyak berhubungan dengan pihak aparat pemerintah dan/atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau pengadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Melalui hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen secara berlebihan hingga mengabaikan kepentingan adanya pelaku usaha. Satu-satunya yang berhubungan dengan kewajiban konsumen atas hak-hak pelaku usaha yang disebutkan pada huruf  b, c, dan d tersebut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa sebagaimana diuraikan sebelumnya.

 

   


3.       Kewajiban konsumen.

 

Kewajiban pelaku usaha yang tercantum dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen, adalah:


a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur menegai kondisi dan jaminan barang dan/atau pelayanan serta memberikan penjelasan pengguna, perbaikan dan pemeliharaan; 

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 

d. Menjamin mutu barang dan/ atau pelayanan jasa yang diproduksi dan /atau diperdagangkan ketentuan standar mutu barang dan/ atau pelayanan jasa yang berlaku; 

 e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 

 f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 

 g. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. 

 

B.     Pengertian Pelaku Usaha.

 

Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

 

1.      Hak - hak Pelaku Usaha.

Hak pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah :

  1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
  3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
  4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

2.7. Kewajiban Pelaku Usaha.

Kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah:

  1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
  2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
  3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
  5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
  6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

 

2.       Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha.

  • Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha berdasarkan Pasal 8 UUPK adalah larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi, antara lain :
  1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundangundangan.
  2. Tidak sesuai dengan berat isi bersih atau neto.
  3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya. 
  4. Tidak sesuai denga kondisi, jaminan, keistimewaan sebagaimana dinyatakan dalam label, etika , atau keterangan barang atau jasa tersebut. 
  5. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label.
  6. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal. 
  7. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat barang, ukuran , berat isi atau neto.
  • Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha berdasarkan Pasal 9 UUPK adalah larangan dalam menawarkan, mempromosikan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar atau seolah-olah :
  1. Barang tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu. 
  2. Barang tersebut dalam keadaan baik/baru. 
  3. Barang atau jasa tersebut telah mendapat atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu. 
  4. Dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor atau persetujuan. 
  5. Barang atau jasa tersebut tersedia. 
  6. Tidak mengandung cacat tersembunyi. 
  7. Kelengkapan dari barang tertentu. 
  8. Berasal dari daerah tertentu. 
  9. Secara langsung atau tidak merendahkan barang atau jasa lain.
  10. Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak berbahaya, atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap. 
  11. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

 

  • Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha berdasarkan Pasal 10 UUPK adalah larangan untuk menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai :
  1. Harga suatu barang dan/atau jasa. 
  2. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa. 
  3. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa. 
  4. Tawaran potongan harga atau hadiah. 
  5. Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

3.       Klausula Baku dalam Perjanjian.

Hukum perjanjian memberikan ruang kepada para pihak untuk membentuk dan menentukan isi dari perjanjian yang akan dilakukan, meski demikian, dalam penerapanya terjadi beberapa permasalahan yang sering dialami dalam menjalankan perjanjian tersebut, salah satu diantaranya adalah adanya kontrak baku, dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Undang-Undang tersebut Pasal 1 Angka 10 disebutkan bahwa: “Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen” Berpijak pada aturan tersebut maka dapat diketahui bahwa di dalam klausula baku yang dibuat, terdapat unsur keharusan yang harus dilakukan oleh salah satu pihak dalam rangka pemenuhan atas aturan yang ada di dalam perjanjian tersebut. Merujuk pada landasan dasar dilakukanya suatu kontrak atau perjanjian, dalam hal ini cenderung mengacu pada hal-hal yang bersifat bisnis atau ekonomi (keuangan). Oleh karena itu dalam suatu kontrak yang dibuat oleh para pihak, seharusnya mampu mewadahi kepentingan-kepentian para pihak. Adanya kepentingan para pihak, merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, karena pada dasarnya dalam kontrak perjanjian yang dilakukan para pihak di dalamnya sama-sama memiliki kepentingan Mengacu pada pemikiran bahwa suatu perjanjian terjadi ketika para pihak yang ada di dalamnya sepakat untuk saling mengikatkan diri, maka dalam hal ini pelaksanaan perjanjian tidak dapat lepas dari perinsip konsensualisme yang merupakan suatu syarat pembentuk perjanjian. Perinsip konsensualisme merupakan syarat mutlak dalam setiap kontrak yang berfungsi untuk menjamin kepastian hukum. Suatu perjanjian dianggap terjadi setelah para pihak mengatakan kesepakatan. Lebih jauh memahami tentang kesepakatan para pihak, bahwa pada hakikatnya dalam hubungan hukum perjanjian, kesepakatan yang terjadi terbentuk karena proses tawar menawar. Melalui proses tawar menawar inilah para pihak akan mengetahui secara jelas dan detail terkait dengan hak serta kewajiban yang harus dilaksanakan dalam menjalankan perjanjian tersebut. Dalam klausula baku yang isinya telah ditentukan oleh salah satu pihak, maka perinsip- perinsip hukum perjanjian yang terdapat di dalam hukum perjanjian seakan terabaikan, hal ini dapat dilihat dari tidak adanya negosiasi dalam klausula baku, posisi tawar salah satu pihak juga lemah serta bagaimana dengan kedudukan asas kebebasan berkontrak yang terdapat di dalam hukum perjanjian.

 

Ø  Tanggung Jawab Pelaku Usaha.

Menurut Pasal 19 Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, pelaku usaha mempunyai suatu tanggung jawab. Tanggung jawab pelaku usaha anatara lain:

  1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pecemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atas diperdagangkan.
  2. Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
  3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. 
  4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tutuntan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
  5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Memperhatikan subtansi Pasal 19 ayat (1) dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha, meliputi:

  1. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;
  2. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran; dan 
  3. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.

Berdasarkan pada penjelasan pasal-pasal diatas, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satusatunya dasar pertanggung jawaban pelaku usaha. Hal ini berarti menjadi suatu tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen. Secara umum, tuntutuan ganti kerugian atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan barang dan/atau jasa, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan yang telah disebutkan, dan bisa di kateogikan menjadi dua jenis, yaitu tuntunan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian berdasarkan perbuatan melanggar hukum. 

Ø  Sanksi Bagi Pelaku Usaha.

Sanksi itu merupakan suatu bentuk hukuman atau ganjaran atas apa yang telah diperbuatnya terhadap tindakan yang telah dilarang. Kerugian (pengrugian) terhadap konsumen ini termasuk dalam tindak kejahatan terhadap orang dan barang, tepatnya dapat dilihat dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) Bab Bab VII Kejahatan yang mendatangkan Bahaya Bagi Keamanan Umum Manusia atau barang telah dijelaskan secara umum mengenai sanksi yang diberikan kepada pelaku usaha, yang termuat dalam pasal 204-206.

  • Pasal 204 :
  1. Barangsiapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagibagikan barang yang diketahuinya membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat berbahaya tidak diberitahu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 
  2. Jika perbuatan itu dapat menyebabkan orang mati, yang bersalah diancam dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. 
  • Pasal 205 :
  1. Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan barang-barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, dijual, diserahkan atau dibagi-bagikan tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli atau yang memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana penjara atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu rupiah. 
  2. Jika perbuatan itu mengakibatkan orang mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun. 
  3. Barang-barang itu dapat disita.  
  • Pasal 206 :
  1. Dalam hal pemidanaan karena salah satu kejahatan berdasarkan dalam bab ini, yang bersalah dapat dilarang menjalankan pencahariannya ketika melakukan kejahatan tersebut. 
  2. Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan dalam pasal 204 dan 205, hakim dapat memerintahkan supaya putusan diumumkan.

Jadi, untuk tindak pidana pengrugian terhadap konsumen ini ada beberapa pasal yang dapat dikenakan pada si pelakunya, dengan sanksi yang berbeda pula sesuai dengan tindakan yang telah dilakukannya. 

 

Referensi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar