Senin, 12 Juli 2021

Penyelesaian Sengketa Ekonomi (TM 14)

 1.      Pengertian Sengketa

Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan pleh pihak lain.  Perasaan tidak puas akan muncul kepermukaan apabila terjadi conflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua, apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, selesailah konflik tersebut, sebaliknya jika reaksi pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda, akan terjadilah apa yang dinamakan sengketa.

Penyelesaian sengketa secara formal berkembang menjadi proses adjudikasi yang terdiri atas proses melalui pengadilan/litigasi dan arbitrase/perwasitan, serta proses penyelesaian-penyelesaian konflik secara informal yang berbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalui negosiasi dan mediasi.


2. Cara - cara Penyelesaian Sengketa 

1.       MEDIASI

Mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa oleh pihak ketiga (mediator) yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral serta membantu para pihak yang berselisih mencapai kesepakatan secara sukarela terhadap permasalahan yang disengketakan. Menurut Rachmadi Usman, mediasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga (mediator) yang bersikap netral dan tidak berpihak kepada pihak-pihak yang bersengketa serta diterima kehadirannya oleh pihak-pihak yang bersengketa.

Mediator bertindak sebagai fasilitator. Hal ini menunjukkan bahwa tugas mediator hanya membantu para pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalah dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Mediator berkedudukan membantu para pihak agar dapat mencapai kesepakatan yang hanya dapat diputuskan oleh para pihak yang bersengketa. Mediator tidak memiliki kewenangan untuk memaksa, tetapi berkewajiban untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa. Mediator harus mampu menciptakan kondisi yang kondusif yang dapat menjamin terciptanya kompromi diantara pihak-pihak yang bersengketa untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan.

 

2.      ARBITRASE

Abritase adalah penyelesaian masalah atau sengketa perdata di luar peradilan hukum. Sesuai yang tertuang pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang berdasarkan pada perjanjian arbitrase secara tertulis oleh para para pihak yang bersengketa. 

 

 

3.              Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase dan Litigasi

Proses

Perundingan

Arbitrase

Litigasi

Yang mengatur

Para pihak

Arbiter

Hakim

Prosedur

Informal

Agak formal sesuai dengan rule

Sangat formal dan teknis

Jangka waktu

Segera ( 3-6 minggu )

Agak cepat ( 3-6 bulan )

Lama ( > 2 tahun )

Biaya

Murah ( low cost )

Terkadang sangat mahal

Sangat mahal

Aturan pembuktian

Tidak perlu

Agak informal

Sangat formal dan teknis

Publikasi

Konfidensial

Konfidensial

Terbuka untuk umum

Hubungan para pihak

Kooperatif

Antagonistis

Antagonistis

Fokus penyelesaian

For the future

Masa lalu

Masa lalu

Metode negosiasi

Kompromis

Sama keras pada prinsip hukum

Sama keras pada prinsip hukum

Komunikasi

Memperbaiki yang sudah lalu

Jalan buntu

Jalan buntu

Result

win-win

Win-lose

Win-lose

Pemenuhan

Sukarela

Selalu ditolak dan mengajukan oposisi

Ditolak dan mencari dalih

Suasana emosinal

Bebas emosi

Emosional

Emosi bergejolak

 

Contoh Kasus Sengketa Ekonomi

 PT Sara Lee Indonesia

Perusahaan besar yang bergerak di consumer product, diguncang masalah dengan karyawanya. Sekitar 200 buruh bagian pabrik roti yang tergabung dalam Gabungan Serikat Pekerja PT Sara Lee Indonesia, menggelar aksi mogok kerja di halaman pabrik, Jalan Raya Bogor Km 27 Jakarta Timur, Rabu (19/11/10). Aksi mogok kerja ini, ternyata tidak hanya di Jakarta namun serentak di seluruh distributor Sara Lee se-Indonesia. Bahkan, buruh yang ada di daerah mengirim ‘utusan’ ke Jakarta untuk memperkuat tuntutannya. Utusan itu bukan orang, namun berupa spanduk dari Sara Lee yang dikirim dari beberapa daerah. Dalam aksinya di depan pabrik, para buruh yang mayoritas perempuan ini membentangkan spanduk berisikan tuntutan kesejahteraan kepada manajemen perusahaan yang berbasis di Chicago Sara Lee Corporation dan beroperasi di 58 negara, pasar merek produk di hampir 200 negara serta memiliki 137.000 karyawan di seluruh dunia. Dengan mengenakan kaos putih dan ikat merah di kepalanya. Buruh merentangkan belasan spanduk, di antaranya bertuliskan: “Kami bukan sapi perahan, usir kapitalis”, “Rp 16 triliun, Bagian kami mana?”, “Jangan lupa karyawan bagian dari aset perusahaan juga.” “Kami Minta 7 Paket”, “Perusahaan Sara Lee Besar Kok Ngasih Kesejahteraan Kecil” juga tuntutan lain tentang kesejahteraan dan gaji yang rendah. Spanduk juga terpasang di pagar pabrik Sara Lee, juga ada sehelai kain berisi tanda tangan para pekerja dan 12 poster yang mewakili suara masing-masing tim dari berbagai daerah, seperti Jakarta, Banyuwangi, Medan, Makassar, Denpasar, Jember, Surabaya, Madiun, Kediri, Gorontalo, Samarinda, Lombok dan Aceh. Poster dari Surabaya GT tertera beberapa kalimat yang berbunyi: “Kami tidak akan berhenti mogok, sebelum kalian penuhi tuntutan buruh, penjahat aja tahu balas budi, kalian?” Juga poster dari Tim Banyuwangi menyuarakan: “Kedatangan kami bukan untuk berdebat, kami datang untuk meminta hak kami, jangan bersembunyi di belakang UU, dan jangan ambil jatah kami, ayo bicaralah untuk Indonesia.” “Kami terpaksa mogok karena jalan berunding sudah buntu dari pertemuan tripartit antara manajemen perusahaan dengan serikat pekerja. Banyak tuntutan yang kami ajukan mulai kesejahteraan, peningkatan jumlah pesangon dan kompensasi dari manajemen,” ungkap seorang buruh wanita yang enggan disebut namanya. Buruh takut menyebut nama, sebab manajemen perusahaan akan terus melakukan intimidasi yang menyakitkan. “Ini aksi dalam jumlah yang kecil, dan menggerakan lebih besar dan sering melancarkan aksi, jika tuntutan kami tak dikabulkan,” sambungnya. Perwakilan manajemen sempat mengimbau peserta aksi mogok untuk kembali bekerja melalui pengeras suara, namun ditolak oleh pekerja. Hingga kini aksi buruh terus bertambah sebab karyawan dari distributor Jakarta, Bogor, Tanggeran, Depok dan Bekasi satu persatu memperkuat aksinya itu. Buruh lainnya mengatakan kasus ini bermula dari penjualan saham Sara Lee dijual kepada perusahaan besar. Ternyata, perusahaan baru itu Setelah enggan menerima karyawan lain, sehingga nasib karyawan menjadi terkatung-katung. Bahkan, memutus hubungan kerja seenaknya saja. Buruh pun aktif demo. Sara Lee merasa malu dengan aksi yang mencoreng perusahaan raksasa inim sehingga siap melakukan perundingan tripartit. Sayangnya, hingga kini belum ada kesepakatan karena manajemen perusahaan memberikan nilai pesangon yang sangat rendah, tak sesuai pengabdian karyawan.

Kesimpulan : Menurut saya, Manajemen PT. Saralee harus berunding terlebih dahulu dengan para buruh agar menemui suatu titik kesepakatan. Jika PT. Saralee tidak memperoleh laba yang ia targetkan, seharusnya ia dapat mengambil kebijaksanaan yang tidak membuat salah satu pihak rugi akan hal ini. Perundingan secara kekeluargaan adalah satu-satunya solusi yang dapat meredam demo. Jika demo terus terjadi, pihak Saralee malah akan mengalami kerugian yang lebih besar lagi, karena jika kegiatan operasional tidak berjalan seperti biasa, laba pun tidak akan didapatkan oleh PT.Saralee


Referensi :

http://widi.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/folder/0.20

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-manado/baca-artikel/13628/Arbitrase-Dan-Alternatif-Penyelesaian-Sengketa.html

https://www.dslalawfirm.com/id/pengertian-arbitrase/

https://fikaamalia.wordpress.com/2011/04/15/perbandingan-antara-perundingan-arbitrase-dan-litigasi/

 

Hal - hal yang dikecualikan dalam UU Anti Monopoli dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Serta Sanksi (TM 13)

1.      Hal – hal yang dikecualikan dalan UU Anti Monopoli

Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999,terdapat hal-hal yang dikecualikan,yaitu :

Pasal 50

a.    perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b.    perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;

c.    perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;

d.    perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan;

e.    perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;

f.     perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;

g.    perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;

h.    pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil;

i.      kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.

 

Pasal 51

Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.

 

2. Komisi Pengawas persaingan Usaha

Berdasarkan Pasal 1 butir 18 Undang-Undang Antimonopoli menyatakan bahwa KPPU adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. KPPU bertanggung jawab langsung kepada presiden, selaku kepala negara. KPPU terdiri dari seorang ketua dan wakil ketua merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang anggota lainnya. Ketua dan wakil ketua komisi dipilih dari dan oleh anggota komisi. Anggota KPPU ini diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Masa jabatan anggota KPPU hanya 2 (dua) periode, dengan masing-masing periode selama 5 (lima) tahun. Apabila karena berakhirnya masa jabatan menyebabakan kekosongan dalam keanggotaan komisi, maka masa jabatan anggota baru dapat diperpanjang sampai pengangkatan anggota baru. Keanggotaan Komisi dapat terhenti bilamana meninggal dunia, mengundurkan diri atas permintaan sendiri, bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia, sakit jasmani atau rohani terus menerus, berakhirnya masa jabatan keanggotaan Komisi atau diberhentikan (Pasal 33 UU Antimonopoli).

 

3. Sanksi

KPPU berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemerintah telah menerbitkan 49 aturan pelaksana UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Salah satunya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Salah satu poin yang menjadi perhatian utama dalam aturan tersebut mengenai sanksi besaran denda bagi pelaku usaha.

Aturan tersebut menyatakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bentuk pemberian sanksi administratif tersebut yaitu penetapan pembatalan perjanjian, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal, menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktik monopoli menyebabkan persaingan usaha tidak sehat maupun merugikan masyarakat.

KPPU juga berwenang memerintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan dan penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham. Dan mengenakan denda paling sedikit Rp 1 miliar dengan memperhatikan ketentuan mengenai besaran denda sebagaimana diatur PP 44/2021.

Pasal 12 menyatakan besaran denda minimal Rp 1 miliar tersebut merupakan denda dasar dan pengenaan tindakan administratif berupa denda oleh KPPU dilakukan berdasarkan ketentuan yaitu paling banyak sebesar 50 persen dari keuntungan bersih yang diperoleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan selama kurun waktu terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang. Penetapan sanksi administratif tersebut juga dilakukan paling banyak sebesar 10 persen dari total penjualan pada pasar bersangkutan selama kurun waktu terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang.

Ketentuan besaran denda ini berubah dibandingkan sebelumnya. Seperti diketahui, besaran denda bagi pelaku usaha yang melanggar Undang-undang 5 Tahun 1999 tentang Anti-Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat minimal Rp 1 miliar sampai maksimal Rp 25 miliar. Sementara itu, UU Cipta Kerja menyatakan besaran denda minimal Rp 1 miliar tanpa mencantumkan denda maksimal.

Lebih lanjut, penentuan besaran denda tersebut didasarkan pada dampak negatif yang ditimbulkan akibat pelanggaran dan durasi waktu terjadinya pelanggaran. Besaran denda juga mempertimbangkan faktor yang meringankan dan memberatkan serta kemampuan pelaku usaha untuk membayar.

 

Referensi :

https://fikaamalia.wordpress.com/2011/04/12/hal-hal-yang-dikecualikan-dalam-uu-anti-monopoli/

https://repository.usm.ac.id/files/research/A037/20180526112416-PERAN-KOMISI-PENGAWAS-PERSAINGAN-USAHA--DALAM-RANGKA-PENEGAKAN-HUKUM-TERHADAP-PELAKU-PRAKTEK-MONOPOLI-DAN-PERSAINGAN-USAHA-TIDAK-SEHAT--DI-INDONESIA:-SUATU-KAJIAN-NORMATIF.pdf

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt604604f5258a5/melihat-ketentuan-sanksi-denda-di-pp-anti-monopoli-dan-persaingan-usaha-tak-sehat/

 

Menjelaskan Pengertian, Tujuan Anti Monopoli, dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Serta Kegiatan yang Dilarang dan Perjanjian yang Dilarang (TM 12)

A.   Pengertian Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

    Monopoli merupakan suatu kondisi bisnis dimana ada satu perusahaan yang memiliki layanan yang dibutuhkan oleh banyak orang. Hal ini menyebabkan perusahaan tersebut tidak memiliki pesaing (competitor). Perusahaan yang bersifat monopoli dapat mengambil keuntungan yang maksimal.

    Sedangkan praktek monopoli merupakan suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dab atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

B. Asas dan Tujuan

UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

    Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah langkah awal bagi Indonesia dalam rangka membawa bisnis dan perdagangan kearah yang lebih adil (fair) dan yang berlandaskan kepada prinsip-prinsip persaingan pasar secara sehat. Undang-Undang tersebut diharapkan mampu mengatur persaingan berusaha di Indonesia sehingga setiap warga masyarakat dan pelaku usaha memperoleh hak dan kesempatan yang sama dalam berusaha. Tidak ada lagi warga masyarakat atau pelaku usaha yang memperoleh perlakuan dan hak-hak istimewa. Tidak ada pelaku usaha yang mendapat fasilitas khusus dari pemerintah sehingga tidak member kesempatan atau menutup peluang bagi pelaku usaha lain untuk masuk dalam bidang usaha sejenis. Dengan Undang-Undang ini juga diharapkan para pelaku usaha yang bermodal kuat tidak akan bertindak sewenang-wenang dan melakukan praktikpraktik bisnis tidak adil yang mematikan atau merugikan pelaku usaha lainnya. Pelaku usaha tidak lagi menyalahgunakan kemudahan-kemudahan ekonomi untuk memperoleh kekuatan pasar dengan menciptakan hambatanhambatan dalam perdagangan, menaikkan harga, dan membatasi produksi barang dan jasa.

C. Kegiatan yang Diarang

    Bentuk Kegiatan yang dilarang dalam praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah sebagai berikut:

Kegiatan-kegiatan yang dilarang sebagaimana tersebut di atas dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Monopoli

    Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, dengan ketentuan sebagai berikut:

  • Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substansinya; atau
  • Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
  • Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

2. Monopsoni

    Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, dengan ketentuan apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

3. Penguasaan Pasar 

  • Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:

  1. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
  2. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
  3. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau
  4. Melakukan praktek monopoli terhadap pelaku usaha tertentu.
  • Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
  • Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

4. Persekongkolan

  • Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
  • Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
  • Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
D. Perjanjian yang Dilarang

    Salah satu yang diatur oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah dilarangnya perjanjian-perjanjian tertentu yang dianggap dapat menimbulkan monopoli dan/atau persaingan tidak sehat. Mengenai apa yang dimaksud dengan kata “perjanjian” ini, tidak berbeda dengan pengertian perjanjian pada umumnya yakni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1313 KUH Perdata “ Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan manasatu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
    Dengan demikian, hal ini mungkin sulit dibuktikan, perjanjian lisan pun secara hukum sudah dapat dianggap sebagai suatu perjanian yang sah dan sempurna. Hal tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 1 ayat (7) dari UndangUndang Antimonopoli yang menyebutkan bahwa “ Yang dimaksud dengan suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dari suatu perbuatan dari satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis ataupun tidak tertulis.
    Dengan demikian, unsur adanya perjanjian tetap disyaratkan, dimana perjanjian lisan dianggap sudah cukup memadai untuk bertanggung jawab secara hukum. Perjanjian yang dilarang sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang No. 5 Tahun 1999 yang terjadi atau mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, antara lain meliputi
  1. Oligopoli
 Oligopoli adalah bentuk organisasi pasar dimana hanya terdapat beberapa penjual/produsen produk yang homogeny atau berbeda. Dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan, yang dimaksud perjanjian yang dilarang dalam bentuk oligopoli yaitu : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

     2.  Penetapan Harga  

    Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas mutu suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggaran pada pasar bersangkutan yang sama.

                3. Pembagian Wilayah

  Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 

                4. Pemboikotan

    Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupu luar negeri. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:

1) Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain

2) Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan/atau jasa dari pasar bersangkutan.

     5. Kartel

    Kartel adalah sebuah penetapan diantara perusahaan-perusahaan penentu harga yang tujuannnya adalah untuk mengurangi jumlah output, menaikkan tingkat harga, meningkatkan keuntungan setiap anggotanya.

     6. Trust

    Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

    7. Oligopsoni

    Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan/atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek mpnopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama mengusai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok pelakuusaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

    8. Integrasi Vertikal

    Pelaku uasaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat.

    9. Perjanjian Tertutup

    Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang membuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada tempat tertentu.

    10. Perjanjian Dengan

    Pihak Luar Negeri Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain diluar negeri, memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.


Referensi : 

http://repository.uin-suska.ac.id/19319/8/8.%20BAB%20III__20187460IH.pdf

https://rendratopan.com/2020/08/03/kegiatan-yang-dilarang-dalam-praktik-monopoli-dan-persaingan-usaha-tidak-sehat/ 

Hak dan Kewajiban dari konsumen dan pelaku usaha, serta perbuatan apa saja yang dilarang oleh pelaku usaha terhadap konsumennya dalam kegiatan ekonomi sehari-hari (TM 11)

A.     Pengertian Konsumen.

     konsumen sebagai istilah yang sering dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, merupakan istilah yang perlu untuk diberikan batasan pengertian agar dapat mempermudah pembahasan tentang perlindungan konsumen. Berbagai pengertian tentang “konsumen” yang dikemukakan baik dalam Rancangan Undang-undang perlindungan konsumen, sebagai upaya ke arah terbentuknya Undang-undang perlindungan konsumen maupun di dalam undang-undang perlindungan konsumen. Pengertian Konsumen menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam pasal 1 angka (2) yakni: Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendir, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dari pengertian konsumen diatas, maka dapat kita kemuakakan unsurunsur definisi konsumen :

       

a.                   a.   Setiap orang.

         Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Mamun istilah orang menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lzim disebut natuurlijke person atau termasuk bahan hukum (rechtspersoon). Oleh karena itu konsumen harus mencakup juga bahan usaha dengan makna luas dari pada bahan hukum.

        b. Pemakai.

            Sesuai dengan bunyi pasal 1 angka (2) Undang-undang perlindungan konsumen, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah kata “pemakai” dalam hal ini digunakan untuk rumusan ketentuan tersebut atau menunjukkan suatu barang dan/ atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli.

        c. Barang dan/atau Jasa.

        Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti termologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa. Undang-undang perlindungan konsumen mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.

        d. Yang tersedia dalam Masyarakat.

            Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus bersedia di pasaran (lihat juga ketentuan pasal 9 ayat (1) huruf e UUPK). Dalam perdagangan yang makin kompleks ini, syarat itu tidak multak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen.

        e. Bagi kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang lain, Makhluk Hidup lain.

          Transaksi konsumen ditunjukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan bagi untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan kelaurganya), bahkan unruk makhluk hidup, contohnya seperti hewan dan tumbuhan.

        f. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan.

        Pengertian konsumen dalam UUPK dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah bisa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai Negara. 

Pengertian konsumen menurut para ahli, menurut Az. Nasution menyatakan bahwa konsumen dapat dikelompokan menjadi dua yaitu:

  1. Pemakai atau pengguna barang dan/atau pelayanan jasa dengan tujuan mendapatkan barang dan/atau pelayanan jasa untuk dijual kembali.
  2. Pemakai barang dan/atau pelayanan jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya.

Sedangkan menurut pendapat A. Abdurahman menyakatan "Bahwa konsumen pada umumnya adalah seseorang yang menggunakan atau memakai, mengkonsumsi barang dan/atau pelayanan jasa".


1.      1Azas dan tujuan konsumen.

  • Azas Konsumen

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di dalam pasal 2 bahwa: “perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

 

  a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besar bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan; 

 b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan pada konsumen dan perilaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;

 c. Asas kesimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual; 

d. Asas kemanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa dikonsumsi atau digunakan; 

e. Asas kepentingan hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu:

  1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen.
  2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan.
  3. Asas kepastian hukum.

Asas keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam asas keadilan, mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak antara pelaku usaha dengan konsumen dan pemerintah. Kepentingan pemerintah di dalam hubungan ini tidak dapat dilihat dalam hubungan adanya transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen. melainkan dengan cara mewakili kepentingan publik yang kehadirannya tidak secara langsung di antara pelaku usaha dengan konsumen tetapi melalui berbagai pembatasan dalam suatu bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagi peraturan perundang-undangan. Selain itu asas keamanan dan keselamatan para konsumen yang dikelompokkan di dalam asas manfaat oleh karena kemanan dan keselamatan konsumen itu sendiri merupakan bagian dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan konsumen dengan kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan. 

  • Tujuan Konsumen.

Adapun tujuan perlindungan konsumen menurut pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen adalah:

        a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; 

    b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; 

    c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-hak sebagi konsumen; 

      d. Menumbuhkan unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; 

    e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab dalm berusaha;

     f. Meningkatkan kualitas dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usdaha produksi barang/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, kemanan, dan keselamatn konsumen.

 

2.      Hak - hak Konsumen.

 

Dalam pelaku usaha memiliki hak untuk melakukan suatu usahanya, yang diatur di dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, produsen disebut sebagai Hak pelaku usaha yang tercantum pasal 6 Undang-undang tentang perlindungan konsumen adalah:

 

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan menegai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa diperdagangkan; 

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tidakan konsumen yang beriktikad tidak baik; 

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;    

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.

 

Berdasarkan hak pelaku usaha yang sudah disebutkan diatas bila kita lihat lebih banyak berhubungan dengan pihak aparat pemerintah dan/atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau pengadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Melalui hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen secara berlebihan hingga mengabaikan kepentingan adanya pelaku usaha. Satu-satunya yang berhubungan dengan kewajiban konsumen atas hak-hak pelaku usaha yang disebutkan pada huruf  b, c, dan d tersebut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa sebagaimana diuraikan sebelumnya.

 

   


3.       Kewajiban konsumen.

 

Kewajiban pelaku usaha yang tercantum dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen, adalah:


a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur menegai kondisi dan jaminan barang dan/atau pelayanan serta memberikan penjelasan pengguna, perbaikan dan pemeliharaan; 

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 

d. Menjamin mutu barang dan/ atau pelayanan jasa yang diproduksi dan /atau diperdagangkan ketentuan standar mutu barang dan/ atau pelayanan jasa yang berlaku; 

 e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 

 f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 

 g. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. 

 

B.     Pengertian Pelaku Usaha.

 

Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

 

1.      Hak - hak Pelaku Usaha.

Hak pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah :

  1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
  3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
  4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

2.7. Kewajiban Pelaku Usaha.

Kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah:

  1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
  2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
  3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
  5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
  6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

 

2.       Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha.

  • Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha berdasarkan Pasal 8 UUPK adalah larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi, antara lain :
  1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundangundangan.
  2. Tidak sesuai dengan berat isi bersih atau neto.
  3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya. 
  4. Tidak sesuai denga kondisi, jaminan, keistimewaan sebagaimana dinyatakan dalam label, etika , atau keterangan barang atau jasa tersebut. 
  5. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label.
  6. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal. 
  7. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat barang, ukuran , berat isi atau neto.
  • Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha berdasarkan Pasal 9 UUPK adalah larangan dalam menawarkan, mempromosikan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar atau seolah-olah :
  1. Barang tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu. 
  2. Barang tersebut dalam keadaan baik/baru. 
  3. Barang atau jasa tersebut telah mendapat atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu. 
  4. Dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor atau persetujuan. 
  5. Barang atau jasa tersebut tersedia. 
  6. Tidak mengandung cacat tersembunyi. 
  7. Kelengkapan dari barang tertentu. 
  8. Berasal dari daerah tertentu. 
  9. Secara langsung atau tidak merendahkan barang atau jasa lain.
  10. Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak berbahaya, atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap. 
  11. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

 

  • Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha berdasarkan Pasal 10 UUPK adalah larangan untuk menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai :
  1. Harga suatu barang dan/atau jasa. 
  2. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa. 
  3. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa. 
  4. Tawaran potongan harga atau hadiah. 
  5. Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

3.       Klausula Baku dalam Perjanjian.

Hukum perjanjian memberikan ruang kepada para pihak untuk membentuk dan menentukan isi dari perjanjian yang akan dilakukan, meski demikian, dalam penerapanya terjadi beberapa permasalahan yang sering dialami dalam menjalankan perjanjian tersebut, salah satu diantaranya adalah adanya kontrak baku, dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Undang-Undang tersebut Pasal 1 Angka 10 disebutkan bahwa: “Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen” Berpijak pada aturan tersebut maka dapat diketahui bahwa di dalam klausula baku yang dibuat, terdapat unsur keharusan yang harus dilakukan oleh salah satu pihak dalam rangka pemenuhan atas aturan yang ada di dalam perjanjian tersebut. Merujuk pada landasan dasar dilakukanya suatu kontrak atau perjanjian, dalam hal ini cenderung mengacu pada hal-hal yang bersifat bisnis atau ekonomi (keuangan). Oleh karena itu dalam suatu kontrak yang dibuat oleh para pihak, seharusnya mampu mewadahi kepentingan-kepentian para pihak. Adanya kepentingan para pihak, merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, karena pada dasarnya dalam kontrak perjanjian yang dilakukan para pihak di dalamnya sama-sama memiliki kepentingan Mengacu pada pemikiran bahwa suatu perjanjian terjadi ketika para pihak yang ada di dalamnya sepakat untuk saling mengikatkan diri, maka dalam hal ini pelaksanaan perjanjian tidak dapat lepas dari perinsip konsensualisme yang merupakan suatu syarat pembentuk perjanjian. Perinsip konsensualisme merupakan syarat mutlak dalam setiap kontrak yang berfungsi untuk menjamin kepastian hukum. Suatu perjanjian dianggap terjadi setelah para pihak mengatakan kesepakatan. Lebih jauh memahami tentang kesepakatan para pihak, bahwa pada hakikatnya dalam hubungan hukum perjanjian, kesepakatan yang terjadi terbentuk karena proses tawar menawar. Melalui proses tawar menawar inilah para pihak akan mengetahui secara jelas dan detail terkait dengan hak serta kewajiban yang harus dilaksanakan dalam menjalankan perjanjian tersebut. Dalam klausula baku yang isinya telah ditentukan oleh salah satu pihak, maka perinsip- perinsip hukum perjanjian yang terdapat di dalam hukum perjanjian seakan terabaikan, hal ini dapat dilihat dari tidak adanya negosiasi dalam klausula baku, posisi tawar salah satu pihak juga lemah serta bagaimana dengan kedudukan asas kebebasan berkontrak yang terdapat di dalam hukum perjanjian.

 

Ø  Tanggung Jawab Pelaku Usaha.

Menurut Pasal 19 Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, pelaku usaha mempunyai suatu tanggung jawab. Tanggung jawab pelaku usaha anatara lain:

  1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pecemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atas diperdagangkan.
  2. Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
  3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. 
  4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tutuntan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
  5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Memperhatikan subtansi Pasal 19 ayat (1) dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha, meliputi:

  1. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;
  2. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran; dan 
  3. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.

Berdasarkan pada penjelasan pasal-pasal diatas, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satusatunya dasar pertanggung jawaban pelaku usaha. Hal ini berarti menjadi suatu tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen. Secara umum, tuntutuan ganti kerugian atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan barang dan/atau jasa, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan yang telah disebutkan, dan bisa di kateogikan menjadi dua jenis, yaitu tuntunan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian berdasarkan perbuatan melanggar hukum. 

Ø  Sanksi Bagi Pelaku Usaha.

Sanksi itu merupakan suatu bentuk hukuman atau ganjaran atas apa yang telah diperbuatnya terhadap tindakan yang telah dilarang. Kerugian (pengrugian) terhadap konsumen ini termasuk dalam tindak kejahatan terhadap orang dan barang, tepatnya dapat dilihat dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) Bab Bab VII Kejahatan yang mendatangkan Bahaya Bagi Keamanan Umum Manusia atau barang telah dijelaskan secara umum mengenai sanksi yang diberikan kepada pelaku usaha, yang termuat dalam pasal 204-206.

  • Pasal 204 :
  1. Barangsiapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagibagikan barang yang diketahuinya membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat berbahaya tidak diberitahu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 
  2. Jika perbuatan itu dapat menyebabkan orang mati, yang bersalah diancam dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. 
  • Pasal 205 :
  1. Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan barang-barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, dijual, diserahkan atau dibagi-bagikan tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli atau yang memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana penjara atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu rupiah. 
  2. Jika perbuatan itu mengakibatkan orang mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun. 
  3. Barang-barang itu dapat disita.  
  • Pasal 206 :
  1. Dalam hal pemidanaan karena salah satu kejahatan berdasarkan dalam bab ini, yang bersalah dapat dilarang menjalankan pencahariannya ketika melakukan kejahatan tersebut. 
  2. Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan dalam pasal 204 dan 205, hakim dapat memerintahkan supaya putusan diumumkan.

Jadi, untuk tindak pidana pengrugian terhadap konsumen ini ada beberapa pasal yang dapat dikenakan pada si pelakunya, dengan sanksi yang berbeda pula sesuai dengan tindakan yang telah dilakukannya. 

 

Referensi :