A.
Pengertian Konsumen.
konsumen
sebagai istilah yang sering dipergunakan dalam percakapan sehari-hari,
merupakan istilah yang perlu untuk diberikan batasan pengertian agar dapat
mempermudah pembahasan tentang perlindungan konsumen. Berbagai pengertian
tentang “konsumen” yang dikemukakan baik dalam Rancangan Undang-undang
perlindungan konsumen, sebagai upaya ke arah terbentuknya Undang-undang
perlindungan konsumen maupun di dalam undang-undang perlindungan konsumen.
Pengertian Konsumen menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dalam pasal 1 angka (2) yakni: Konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendir, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. Dari pengertian konsumen diatas, maka dapat kita
kemuakakan unsurunsur definisi konsumen :
a. a. Setiap orang.
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus
sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Mamun istilah orang menimbulkan keraguan,
apakah hanya orang individual yang lzim disebut natuurlijke person atau
termasuk bahan hukum (rechtspersoon). Oleh karena itu konsumen harus mencakup
juga bahan usaha dengan makna luas dari pada bahan hukum.
b. Pemakai.
Sesuai dengan bunyi pasal 1 angka (2) Undang-undang perlindungan
konsumen, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate
consumer). Istilah kata “pemakai” dalam hal ini digunakan untuk
rumusan ketentuan tersebut atau menunjukkan suatu barang dan/ atau jasa
yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli.
c. Barang dan/atau Jasa.
Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti
termologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi
barang atau jasa. Undang-undang perlindungan konsumen mengartikan barang
sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun
tidak bergerak, baik dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk
diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
d. Yang tersedia dalam Masyarakat.
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat
sudah harus bersedia di pasaran (lihat juga ketentuan pasal 9 ayat (1) huruf e
UUPK). Dalam perdagangan yang makin kompleks ini, syarat itu tidak multak lagi
dituntut oleh masyarakat konsumen.
e. Bagi kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang lain, Makhluk Hidup
lain.
Transaksi konsumen ditunjukan untuk kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain dan makhluk hidup. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan
bagi untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu
diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan kelaurganya), bahkan
unruk makhluk hidup, contohnya seperti hewan dan tumbuhan.
f. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan.
Pengertian konsumen dalam UUPK dipertegas, yakni hanya konsumen akhir.
Batasan itu sudah bisa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di
berbagai Negara.
Pengertian konsumen menurut para
ahli, menurut Az. Nasution menyatakan bahwa konsumen dapat dikelompokan menjadi
dua yaitu:
- Pemakai atau pengguna barang
dan/atau pelayanan jasa dengan tujuan mendapatkan barang dan/atau
pelayanan jasa untuk dijual kembali.
- Pemakai barang dan/atau
pelayanan jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah
tangganya.
Sedangkan menurut pendapat A.
Abdurahman menyakatan "Bahwa konsumen pada umumnya adalah seseorang yang
menggunakan atau memakai, mengkonsumsi barang dan/atau pelayanan jasa".
1. 1Azas dan tujuan konsumen.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen di dalam pasal 2 bahwa: “perlindungan konsumen
berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen,
serta kepastian hukum”.
Perlindungan konsumen
diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam
pembangunan nasional, yaitu:
a. Asas manfaat
dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besar bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;
b. Asas keadilan dimaksudkan
agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan
kesempatan pada konsumen dan perilaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil;
c. Asas kesimbangan dimaksudkan untuk
memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan
pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual;
d. Asas kemanan dan keselamatan
konsumen dimaksudkan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa dikonsumsi atau digunakan;
e. Asas kepentingan hukum dimaksudkan
agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian
hukum.
Kelima asas yang disebutkan dalam
pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga)
asas yaitu:
- Asas kemanfaatan yang di
dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen.
- Asas keadilan yang di dalamnya
meliputi asas keseimbangan, dan.
- Asas kepastian hukum.
Asas keseimbangan yang dikelompokkan
ke dalam asas keadilan, mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah
juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak antara pelaku usaha dengan
konsumen dan pemerintah. Kepentingan pemerintah di dalam hubungan ini tidak
dapat dilihat dalam hubungan adanya transaksi dagang secara langsung menyertai
pelaku usaha dan konsumen. melainkan dengan cara mewakili kepentingan publik
yang kehadirannya tidak secara langsung di antara pelaku usaha dengan konsumen
tetapi melalui berbagai pembatasan dalam suatu bentuk kebijakan yang dituangkan
dalam berbagi peraturan perundang-undangan. Selain itu asas keamanan dan
keselamatan para konsumen yang dikelompokkan di dalam asas manfaat oleh karena
kemanan dan keselamatan konsumen itu sendiri merupakan bagian dari manfaat penyelenggaraan
perlindungan yang diberikan konsumen dengan kepentingan pelaku usaha secara
keseluruhan.
Adapun tujuan perlindungan konsumen
menurut pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen
adalah:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
b. Mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari akses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-hak sebagi
konsumen;
d.
Menumbuhkan unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab dalm berusaha;
f.
Meningkatkan kualitas dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usdaha produksi
barang/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, kemanan, dan keselamatn konsumen.
2.
Hak - hak Konsumen.
Dalam pelaku usaha memiliki hak
untuk melakukan suatu usahanya, yang diatur di dalam pasal 6 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999, produsen disebut sebagai Hak pelaku usaha yang tercantum
pasal 6 Undang-undang tentang perlindungan konsumen adalah:
a. Hak untuk menerima pembayaran
yang sesuai dengan kesepakatan menegai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau
jasa diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan
hukum dari tidakan konsumen yang beriktikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan
diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik
apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
Berdasarkan hak pelaku usaha yang
sudah disebutkan diatas bila kita lihat lebih banyak berhubungan dengan pihak
aparat pemerintah dan/atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau pengadilan
dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Melalui hak-hak tersebut
diharapkan perlindungan konsumen secara berlebihan hingga mengabaikan
kepentingan adanya pelaku usaha. Satu-satunya yang berhubungan dengan kewajiban
konsumen atas hak-hak pelaku usaha yang disebutkan pada huruf b, c,
dan d tersebut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa
sebagaimana diuraikan sebelumnya.
3.
Kewajiban konsumen.
Kewajiban pelaku usaha yang
tercantum dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan
konsumen, adalah:
a. Beritikad baik dalam melakukan
kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar,
jelas, dan jujur menegai kondisi dan jaminan barang dan/atau pelayanan serta
memberikan penjelasan pengguna, perbaikan dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani
konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/ atau
pelayanan jasa yang diproduksi dan /atau diperdagangkan ketentuan standar mutu
barang dan/ atau pelayanan jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada
konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang/atau jasa tertentu serta
memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti
rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi, ganti
rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
B.
Pengertian Pelaku Usaha.
Pelaku
usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan
usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
1.
Hak - hak Pelaku Usaha.
Hak pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 6 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen adalah :
- Hak untuk
menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- Hak untuk
mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik;
- Hak untuk
melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
- Hak untuk
rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
- Hak-hak yang
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
2.7.
Kewajiban Pelaku Usaha.
Kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7
Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah:
- Beritikad baik
dalam melakukan kegiatan usahanya;
- Memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
- Memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
- Menjamin mutu
barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
- Memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
- Memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
- Memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
2.
Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha.
- Perbuatan yang dilarang bagi
pelaku usaha berdasarkan Pasal 8 UUPK adalah larangan bagi pelaku usaha
dalam kegiatan produksi, antara lain :
- Tidak memenuhi atau tidak sesuai
dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan
perundangundangan.
- Tidak sesuai dengan berat isi
bersih atau neto.
- Tidak sesuai dengan ukuran,
takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang
sebenarnya.
- Tidak sesuai denga kondisi,
jaminan, keistimewaan sebagaimana dinyatakan dalam label, etika , atau
keterangan barang atau jasa tersebut.
- Tidak sesuai dengan janji yang
dinyatakan dalam label.
- Tidak mengikuti ketentuan
berproduksi secara halal.
- Tidak memasang label atau membuat
penjelasan barang yang memuat barang, ukuran , berat isi atau neto.
- Perbuatan yang dilarang bagi
pelaku usaha berdasarkan Pasal 9 UUPK adalah larangan dalam menawarkan,
mempromosikan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar atau
seolah-olah :
- Barang tersebut telah memenuhi
atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu.
- Barang tersebut dalam keadaan
baik/baru.
- Barang atau jasa tersebut telah
mendapat atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan
tertentu.
- Dibuat oleh perusahaan yang
mempunyai sponsor atau persetujuan.
- Barang atau jasa tersebut
tersedia.
- Tidak mengandung cacat
tersembunyi.
- Kelengkapan dari barang
tertentu.
- Berasal dari daerah
tertentu.
- Secara langsung atau tidak
merendahkan barang atau jasa lain.
- Menggunakan kata-kata yang
berlebihan seperti aman, tidak berbahaya, atau efek sampingan tanpa
keterangan yang lengkap.
- Menawarkan sesuatu yang mengandung
janji yang belum pasti.
- Perbuatan yang dilarang bagi
pelaku usaha berdasarkan Pasal 10 UUPK adalah larangan untuk menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar
atau menyesatkan mengenai :
- Harga suatu barang dan/atau
jasa.
- Kegunaan suatu barang dan/atau
jasa.
- Kondisi, tanggungan, jaminan, hak
atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa.
- Tawaran potongan harga atau
hadiah.
- Bahaya penggunaan barang dan/atau
jasa.
3.
Klausula
Baku dalam Perjanjian.
Hukum
perjanjian memberikan ruang kepada para pihak untuk membentuk dan menentukan
isi dari perjanjian yang akan dilakukan, meski demikian, dalam penerapanya
terjadi beberapa permasalahan yang sering dialami dalam menjalankan
perjanjian tersebut, salah satu diantaranya adalah adanya kontrak baku, dalam
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam
Undang-Undang tersebut Pasal 1 Angka 10 disebutkan bahwa: “Klausula Baku
adalah setiap aturan atau ketentuan dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan
dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen” Berpijak pada aturan tersebut maka dapat diketahui
bahwa di dalam klausula baku yang dibuat, terdapat unsur keharusan yang harus
dilakukan oleh salah satu pihak dalam rangka pemenuhan atas aturan yang ada
di dalam perjanjian tersebut. Merujuk pada landasan dasar dilakukanya suatu
kontrak atau perjanjian, dalam hal ini cenderung mengacu pada hal-hal
yang bersifat bisnis atau ekonomi (keuangan). Oleh karena itu dalam suatu
kontrak yang dibuat oleh para pihak, seharusnya mampu mewadahi
kepentingan-kepentian para pihak. Adanya kepentingan para pihak, merupakan
suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, karena pada dasarnya dalam kontrak
perjanjian yang dilakukan para pihak di dalamnya sama-sama memiliki
kepentingan Mengacu pada pemikiran bahwa suatu perjanjian terjadi ketika
para pihak yang ada di dalamnya sepakat untuk saling mengikatkan diri, maka
dalam hal ini pelaksanaan perjanjian tidak dapat lepas dari perinsip
konsensualisme yang merupakan suatu syarat pembentuk perjanjian. Perinsip
konsensualisme merupakan syarat mutlak dalam setiap kontrak yang berfungsi
untuk menjamin kepastian hukum. Suatu perjanjian dianggap terjadi
setelah para pihak mengatakan kesepakatan. Lebih jauh memahami tentang
kesepakatan para pihak, bahwa pada hakikatnya dalam hubungan hukum
perjanjian, kesepakatan yang terjadi terbentuk karena proses tawar
menawar. Melalui proses tawar menawar inilah para pihak akan mengetahui
secara jelas dan detail terkait dengan hak serta kewajiban yang harus
dilaksanakan dalam menjalankan perjanjian tersebut. Dalam klausula baku yang
isinya telah ditentukan oleh salah satu pihak, maka perinsip- perinsip hukum
perjanjian yang terdapat di dalam hukum perjanjian seakan terabaikan, hal ini
dapat dilihat dari tidak adanya negosiasi dalam klausula baku, posisi tawar
salah satu pihak juga lemah serta bagaimana dengan kedudukan asas kebebasan
berkontrak yang terdapat di dalam hukum perjanjian.
Ø Tanggung Jawab Pelaku
Usaha.
Menurut
Pasal 19 Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, pelaku usaha
mempunyai suatu tanggung jawab. Tanggung jawab pelaku usaha anatara lain:
- Pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pecemaran, dan/atau kerugian
konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atas
diperdagangkan.
- Ganti rugi sebagaimana yang
dimaksud ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang
dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan
dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
- Pemberian ganti rugi dilaksanakan
dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
- Pemberian ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan
adanya tutuntan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai
adanya unsur kesalahan.
- Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat
membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Memperhatikan
subtansi Pasal 19 ayat (1) dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha,
meliputi:
- Tanggung jawab ganti kerugian atas
kerusakan;
- Tanggung jawab ganti kerugian atas
pencemaran; dan
- Tanggung jawab ganti kerugian atas
kerugian konsumen.
Berdasarkan
pada penjelasan pasal-pasal diatas, maka adanya produk barang dan/atau jasa
yang cacat bukan merupakan satusatunya dasar pertanggung jawaban pelaku
usaha. Hal ini berarti menjadi suatu tanggung jawab pelaku usaha meliputi
segala kerugian yang dialami konsumen. Secara umum, tuntutuan ganti kerugian
atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan barang
dan/atau jasa, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan
pada beberapa ketentuan yang telah disebutkan, dan bisa di kateogikan menjadi
dua jenis, yaitu tuntunan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi dan tuntutan
ganti kerugian berdasarkan perbuatan melanggar hukum.
Ø Sanksi Bagi Pelaku
Usaha.
Sanksi
itu merupakan suatu bentuk hukuman atau ganjaran atas apa yang telah
diperbuatnya terhadap tindakan yang telah dilarang. Kerugian (pengrugian)
terhadap konsumen ini termasuk dalam tindak kejahatan terhadap orang dan
barang, tepatnya dapat dilihat dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana)
Bab Bab VII Kejahatan yang mendatangkan Bahaya Bagi Keamanan Umum Manusia
atau barang telah dijelaskan secara umum mengenai sanksi yang diberikan
kepada pelaku usaha, yang termuat dalam pasal 204-206.
- Barangsiapa menjual, menawarkan,
menyerahkan atau membagibagikan barang yang diketahuinya membahayakan
nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat berbahaya tidak diberitahu,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
- Jika perbuatan itu dapat menyebabkan
orang mati, yang bersalah diancam dengan pidana seumur hidup atau pidana
penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
- Barangsiapa karena kesalahannya
(kealpaannya) menyebabkan barang-barang yang berbahaya bagi nyawa atau
kesehatan orang, dijual, diserahkan atau dibagi-bagikan tanpa diketahui
sifat berbahayanya oleh yang membeli atau yang memperoleh, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana penjara
atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu rupiah.
- Jika perbuatan itu mengakibatkan
orang mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama satu
tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
- Barang-barang itu dapat disita.
- Dalam hal pemidanaan karena salah
satu kejahatan berdasarkan dalam bab ini, yang bersalah dapat dilarang
menjalankan pencahariannya ketika melakukan kejahatan tersebut.
- Dalam hal pemidanaan berdasarkan
salah satu kejahatan dalam pasal 204 dan 205, hakim dapat memerintahkan
supaya putusan diumumkan.
Jadi,
untuk tindak pidana pengrugian terhadap konsumen ini ada beberapa pasal yang
dapat dikenakan pada si pelakunya, dengan sanksi yang berbeda pula sesuai
dengan tindakan yang telah dilakukannya.
|
Referensi :